Selasa, 07 April 2015

Berjalan di Bukit Menikmati Gedongsongo


Pagi itu hangat matahari tidak menyambutku dengan sempurna. Mendung menutupi sedikit pancarannya, namun keagungan Tuhan tidak pernah terhapuskan oleh apapun. Guratan cahaya diantara mendung menemani perjalananku menuju Bandungan Ambarawa. Sudah lama saya ingin ketempat ini dan akhirnya hari ini kesampaian juga. Inilah Candi Gedongsongo. Tepatnya candi ini berada di desa Darum, kelurahan Candi, kabupaten Bandungan.
          Sudah tergambar dalam bayangan saya menikmati indah kabut putih diantara candi-candi. Maka, saya berusaha bangun dini hari untuk segera berangkat ke Ambarawa. Pukul 03.00 pagi saya memulai perjalanan dari Yogyakarta kearah Semarang. Gelapnya subuh tidak menjadi masalah untuk saya, perkebunan kopi di sekitar Banaran menyegarkan perjalanan saya. Namun, perjalanan terhenti sebentar selama kurang lebih satu jam karena tiba-tiba hujan deras datang di daerah Jambu. Karena saya menggunakan kendaraan roda dua, maka saya harus berteduh dan sejenak menikmati hujan pagi hari kala itu. Setelah hujan mulai mereda, saya melanjutkan perjalanan. Untuk menuju lokasi Gedongsongo tidak begitu sulit. Sebelum sampai di pasar Ambarawa, beloklah kekiri ke arah Bandungan. Saya mengikuti alur jalan tersebut, hingga sampai dipertigaan bandungan dekat pasar bandungan kemudian belok kiri, jalan berkelok-kelok dan penuh tanjakan. Haram dimaklumi ya, namanya juga jalan dipegunungan. Seperti biasa, saya mengikuti jalan tersebut hingga akhirnya saya melihat plang petunjuk arah ke Gedongsongo. Saya melanjutkan perjalanan sekitar tiga kilometer dan sampailah juga saya di Candi ini. Dalam perjalanan pagi itu, saya melihat beberapa anak SD dengan melakukan jalan santai dengan menggunakan seragam olah raga, terlihat gembira sekali..
          Saat itu pukul tujuh pagi saya sampai di Gedongsongo. Masih sangat sepi, mungkin saya pengunjung pertama hari itu. Rintik gerimis menemaniku, tetapi saya yakin bahwa ini tidak akan menjadi hujan deras. Saya menuju ke toket untuk membeli tiket masuk. Uppss..?? yang jaga dimana?? Ternyata yang jaga sedang keluar, mungkin saya terlalu pagi datangnya, hihihi... Setelah menunggu beberapa menit, saya pun mendapatkan tiket masuk. Harga tiket masuk pada hari biasa Rp 6.000,- untuk hari libur Rp 7.500,- sedangkan untuk wisatawan mancanegara alias bule sebesar Rp 50.000,-.
          Waooo....serasa lokasi ini milik sendiri, karena belum ada pengunjung lainnya kecuali saya. Saya sedikit kecewa karena tidak mendapati kabut, tetapi pemandangan indah mampu menghilangkan kecewaku. Di tengah perjalanan menuju candi pertama, beberapa orang mendatangi saya, mereka dengan ramah menawari jasa menggunakan kuda untuk keliling melihat-lihat candi. Tarif menggunakan jasa ini sekitar Rp 90.000,-, jasa ini sangat membantu bagi pengunjung yang tidak kuat untuk berjalan jauh. Dengan ramah pula saya menolak, karena saya ingin menikmati bukit  ini dengan berjalan kaki. 

Pelan-pelan berjalan sambil menikmati alam saya menuju candi I, candi disini tidak termasuk kategori candi yang besar. Kebersihan dilokasi ini juga masih sangat terjaga. Diharapkan pula para pengunjung juga membantu menjaga kebersihan lokasi cagar budaya ini. Asik menikmati candi I, saya menuju candi II, jalannya lumayan membuat keringat mengalir keluar. Jalannya berkelok, jalan yang dilalui tersusun rapi dari bebatuan yang mempermudah para pengunjung. Menuju candi ke dua, pengunjung diarahkan melewati lokasi rest area yang menyediakan beberapa menu makanan. Tetapi karena saya datang terlalu pagi, belum ada satupun warung yang buka. Saya beristirahat sejenak di candi II. Ternyata untuk menuju candi yang satu dengan candi yang lainnya membutuhkan tenaga yang lumayan. Menuju candi III, jalan sedikit menanjak. Tanaman daun bawang alias loncang tumbuh segar disisi kiri dan kanan jalan. Lokasi pegunungan memang cocok untuk menanam sayur-sayuran. Di candi III, terdapat tiga candi kecil dalam satu lokasi. Dari candi III ini, saya bisa melihat beberapa candi di bawahnya. Menarik sekali!!
          Sejenak beristirahat, saya melanjutkan perjalanan ke candi IV. Dalam perjalanan saya melihat gumpalan saat tipis. Ternyata setelah mendekat, itu adalah lokasi pemandian air panas. Dalam perjalanan menuju candi IV, bau belerang terasa menyengat. Saya mendekatinya dan uap panas belerang muncul dari celah dinding tebing. Ternyata disitu sumber air panas. Dilokasi tersebut saya tidak sendirian, saya bertemu beberapa anak SD yang tadi saya lihat tengah jalan santai. Mereka juga terlihat asik menikmati aliran sungai kecil yang hangat. Pemandangan dilokasi tersebut sangat indah. Tanpa berpikir panjang, tangan ini secara otomatis langsung mengambil kamera dan mengambil beberapa gambar yang indah. Huffttt....Jalan semakin menanjak menuju candi IV dan candi V. Satu botol air mineral sudah saya habiskan. Jarak antara candi IV dan candi V tidak begitu jauh. Candi V merupakan candi paling puncak. Dari candi V saya dapat melihat pemandangan keseluruhan area Gedongsongo. Ku hirup napas panjang, ku rentangkan tanganku dan ku syukuri anugrah Tuhan yang satu ini. 
Sedikit ada kebingungan dalam pikiran saya. Mengapa candinya hanya lima? Saya mencari-cari arah candi berikutnya namun saya tidak mendapatkannya. Dalam pikiran saya namanya gedongsongo, songo dalam bahasa jawa artinya sembilan, saya pikir candinya juga sembilan. Sambil berjalan menuruni bukit candi V, saya masih merasa bingung.
          Matahari sudah tidak malu menampakkan sinarnya pagi ini, hanyanya mencari sudah mulai menyentuh kulit muka saya. Selama perjalanan kembali saya bertemu beberapa penduduk lokal yang sedang melakukan aktivitasnya seperti mengurus sawahnya, mencari kayu bahkan ada juga yang sekedar berjalan-jalan. Beberapa pengunjung pun terlihat mulai berdatangan, beberapa kali saya berpapasan dengan kuda yang membawa para pengunjung.  Dengan lelah dan puas bisa berjalan keliling candi Gedongsongo, akhirnya saya sampai dilokasi awal perjalanan.
          Sebuah papan informasi menjawab kebingungan saya. Di situ tertulis mengenali sejarah candi ini. Yapp...memang benar, ternyata candi dikomplek ini hanya ada lima bukan sembilan seperti yang ada dibayangan saya. Berdasarkan yang tertulis, Gedongsongo berwujud sebagai kepercayaan kepada Parswadewata. Di Jawa ditafsirkan sebagai persembahan kepada roh nenek moyang yang telah bersatu dengan Siwa. Mmmm....pantas saja tadi di candi-candi tersebut masih ada beberapa dupa dan sesasi, mungkin masyarakat masih menghormati nenek moyang tersebut seperti pada ceritanya. Candi ini dibangun berderet hingga puncak, candi I paling bawah hingga candi V paling puncak. Hal ini menunjukan perpaduan antara dua religi yaitu religi lokal (kepercayaan roh nenek moyang) dan global Hindu (gunung sebagai tempat tinggal para dewa). Sehingga arti Gedongsongo yaitu tempat/persembahan roh nenek moyang yang telah menjadi dewa. Sama seperti candi-candi lainnya, candi ini juga telah melakukan beberapa proses pemugaran guna memperbaiki situs budayanya, pemugaran yang terakhir dilakukan pada tahun 2009.
          Akhirnya saya kesampaian juga datang ketempat ini, dan saya tidak merasa sia-sia. Banyak hal yang diperoleh, pemandangan yang indah, udara dingin yang sejuk, dan yang pasti saya memperoleh pengetahuan baru mengenai salah satu cagar budaya bangsa ini.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar