Pagi itu
hangat matahari tidak menyambutku dengan sempurna. Mendung menutupi sedikit
pancarannya, namun keagungan Tuhan tidak pernah terhapuskan oleh apapun. Guratan
cahaya diantara mendung menemani perjalananku menuju Bandungan Ambarawa. Sudah
lama saya ingin ketempat ini dan akhirnya hari ini kesampaian juga. Inilah
Candi Gedongsongo. Tepatnya candi ini berada di desa Darum, kelurahan Candi,
kabupaten Bandungan.
Sudah
tergambar dalam bayangan saya menikmati indah kabut putih diantara candi-candi.
Maka, saya berusaha bangun dini hari untuk segera berangkat ke Ambarawa. Pukul
03.00 pagi saya memulai perjalanan dari Yogyakarta kearah Semarang. Gelapnya
subuh tidak menjadi masalah untuk saya, perkebunan kopi di sekitar Banaran
menyegarkan perjalanan saya. Namun, perjalanan terhenti sebentar selama kurang
lebih satu jam karena tiba-tiba hujan deras datang di daerah Jambu. Karena saya
menggunakan kendaraan roda dua, maka saya harus berteduh dan sejenak menikmati
hujan pagi hari kala itu. Setelah hujan mulai mereda, saya melanjutkan
perjalanan. Untuk menuju lokasi Gedongsongo tidak begitu sulit. Sebelum sampai
di pasar Ambarawa, beloklah kekiri ke arah Bandungan. Saya mengikuti alur jalan
tersebut, hingga sampai dipertigaan bandungan dekat pasar bandungan kemudian
belok kiri, jalan berkelok-kelok dan penuh tanjakan. Haram dimaklumi ya,
namanya juga jalan dipegunungan. Seperti biasa, saya mengikuti jalan tersebut
hingga akhirnya saya melihat plang petunjuk arah ke Gedongsongo. Saya
melanjutkan perjalanan sekitar tiga kilometer dan sampailah juga saya di Candi
ini. Dalam perjalanan pagi itu, saya melihat beberapa anak SD dengan melakukan
jalan santai dengan menggunakan seragam olah raga, terlihat gembira sekali..
Saat
itu pukul tujuh pagi saya sampai di Gedongsongo. Masih sangat sepi, mungkin
saya pengunjung pertama hari itu. Rintik gerimis menemaniku, tetapi saya yakin
bahwa ini tidak akan menjadi hujan deras. Saya menuju ke toket untuk membeli
tiket masuk. Uppss..?? yang jaga dimana?? Ternyata yang jaga sedang keluar,
mungkin saya terlalu pagi datangnya, hihihi... Setelah menunggu beberapa menit,
saya pun mendapatkan tiket masuk. Harga tiket masuk pada hari biasa Rp 6.000,-
untuk hari libur Rp 7.500,- sedangkan untuk wisatawan mancanegara alias bule
sebesar Rp 50.000,-.
Waooo....serasa
lokasi ini milik sendiri, karena belum ada pengunjung lainnya kecuali saya. Saya
sedikit kecewa karena tidak mendapati kabut, tetapi pemandangan indah mampu
menghilangkan kecewaku. Di tengah perjalanan menuju candi pertama, beberapa
orang mendatangi saya, mereka dengan ramah menawari jasa menggunakan kuda untuk
keliling melihat-lihat candi. Tarif menggunakan jasa ini sekitar Rp 90.000,-,
jasa ini sangat membantu bagi pengunjung yang tidak kuat untuk berjalan jauh. Dengan
ramah pula saya menolak, karena saya ingin menikmati bukit ini dengan berjalan kaki.
Pelan-pelan berjalan sambil
menikmati alam saya menuju candi I, candi disini tidak termasuk kategori candi
yang besar. Kebersihan dilokasi ini juga masih sangat terjaga. Diharapkan pula
para pengunjung juga membantu menjaga kebersihan lokasi cagar budaya ini. Asik menikmati
candi I, saya menuju candi II, jalannya lumayan membuat keringat mengalir
keluar. Jalannya berkelok, jalan yang dilalui tersusun rapi dari bebatuan yang
mempermudah para pengunjung. Menuju candi ke dua, pengunjung diarahkan melewati
lokasi rest area yang menyediakan beberapa menu makanan. Tetapi karena saya
datang terlalu pagi, belum ada satupun warung yang buka. Saya beristirahat
sejenak di candi II. Ternyata untuk menuju candi yang satu dengan candi yang
lainnya membutuhkan tenaga yang lumayan. Menuju candi III, jalan sedikit
menanjak. Tanaman daun bawang alias loncang tumbuh segar disisi kiri dan kanan
jalan. Lokasi pegunungan memang cocok untuk menanam sayur-sayuran. Di candi
III, terdapat tiga candi kecil dalam satu lokasi. Dari candi III ini, saya bisa
melihat beberapa candi di bawahnya. Menarik sekali!!
Sejenak
beristirahat, saya melanjutkan perjalanan ke candi IV. Dalam perjalanan saya
melihat gumpalan saat tipis. Ternyata setelah mendekat, itu adalah lokasi
pemandian air panas. Dalam perjalanan menuju candi IV, bau belerang terasa
menyengat. Saya mendekatinya dan uap panas belerang muncul dari celah dinding
tebing. Ternyata disitu sumber air panas. Dilokasi tersebut saya tidak
sendirian, saya bertemu beberapa anak SD yang tadi saya lihat tengah jalan
santai. Mereka juga terlihat asik menikmati aliran sungai kecil yang hangat. Pemandangan
dilokasi tersebut sangat indah. Tanpa berpikir panjang, tangan ini secara
otomatis langsung mengambil kamera dan mengambil beberapa gambar yang indah. Huffttt....Jalan
semakin menanjak menuju candi IV dan candi V. Satu botol air mineral sudah saya
habiskan. Jarak antara candi IV dan candi V tidak begitu jauh. Candi V
merupakan candi paling puncak. Dari candi V saya dapat melihat pemandangan
keseluruhan area Gedongsongo. Ku hirup napas panjang, ku rentangkan tanganku
dan ku syukuri anugrah Tuhan yang satu ini.
Sedikit ada kebingungan dalam
pikiran saya. Mengapa candinya hanya lima? Saya mencari-cari arah candi
berikutnya namun saya tidak mendapatkannya. Dalam pikiran saya namanya
gedongsongo, songo dalam bahasa jawa artinya sembilan, saya pikir candinya juga
sembilan. Sambil berjalan menuruni bukit candi V, saya masih merasa bingung.
Matahari
sudah tidak malu menampakkan sinarnya pagi ini, hanyanya mencari sudah mulai
menyentuh kulit muka saya. Selama perjalanan kembali saya bertemu beberapa
penduduk lokal yang sedang melakukan aktivitasnya seperti mengurus sawahnya,
mencari kayu bahkan ada juga yang sekedar berjalan-jalan. Beberapa pengunjung
pun terlihat mulai berdatangan, beberapa kali saya berpapasan dengan kuda yang
membawa para pengunjung. Dengan lelah dan
puas bisa berjalan keliling candi Gedongsongo, akhirnya saya sampai dilokasi
awal perjalanan.
Sebuah
papan informasi menjawab kebingungan saya. Di situ tertulis mengenali sejarah
candi ini. Yapp...memang benar, ternyata candi dikomplek ini hanya ada lima
bukan sembilan seperti yang ada dibayangan saya. Berdasarkan yang tertulis,
Gedongsongo berwujud sebagai kepercayaan kepada Parswadewata. Di Jawa
ditafsirkan sebagai persembahan kepada roh nenek moyang yang telah bersatu
dengan Siwa. Mmmm....pantas saja tadi di candi-candi tersebut masih ada
beberapa dupa dan sesasi, mungkin masyarakat masih menghormati nenek moyang
tersebut seperti pada ceritanya. Candi ini dibangun berderet hingga puncak,
candi I paling bawah hingga candi V paling puncak. Hal ini menunjukan perpaduan
antara dua religi yaitu religi lokal (kepercayaan roh nenek moyang) dan global
Hindu (gunung sebagai tempat tinggal para dewa). Sehingga arti Gedongsongo yaitu
tempat/persembahan roh nenek moyang yang telah menjadi dewa. Sama seperti
candi-candi lainnya, candi ini juga telah melakukan beberapa proses pemugaran
guna memperbaiki situs budayanya, pemugaran yang terakhir dilakukan pada tahun
2009.
Akhirnya
saya kesampaian juga datang ketempat ini, dan saya tidak merasa sia-sia. Banyak
hal yang diperoleh, pemandangan yang indah, udara dingin yang sejuk, dan yang
pasti saya memperoleh pengetahuan baru mengenai salah satu cagar budaya bangsa
ini.










Tidak ada komentar:
Posting Komentar